C. Komponen
Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa
elemen atau komponen, menurut ahli atropologi Cateora, yaitu :
•
Kebudayaan Material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat
yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah
temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah
liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
•
Kebudayaan Nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
•
Lembaga Sosial
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang
banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem
social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang
berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa
dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada
satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik,
wajar seorang wanita memiliki karier.
•
Sistem Kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system
kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system
penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi
dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka
berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
•
Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangun bagunan jenis apa saja harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangun bagunan jenis apa saja harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
•
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
D. Kebudayaan
Moloku Kie Raha
Pembahasan mengenai kebudayaan Moloku Kie
Raha merupakan pembahasan yang begitu menarik. Menarik, karena dapat memancing
sejumlah pertanyaan kritis yang dimaksudkan untuk mengenal kandungan nilai
kebudayaan Moloku Kie Raha. Pertanyaan
kritis yang dimaksud ialah tentang dari
mana sumber kebudayaan Moloku Kie Raha itu tercipta? apa itu kebudayaan Moloku
Kie Raha? Bagaimana wujud dan komponen budaya yang termasuk di dalamnya segala
daya cipta, system nilai, keyakinan, dan pandangan dunia manusia Moloku Kie
Raha? Pertanyaan berikutnya adalah mengapa terbentuk sebuah kebudayaan Moloku
Kie Raha? dan mengapa kebudayaan Moloku Kie Raha itu perlu dipelajari.
Proses untuk mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan di
atas, sebagai suatu upaya untuk memahami kandungan kebudayaan Moloku Kie Raha,
menurut hemat penulis dapat dimulai dengan melakukan 2 hal penting, pertama, menelaah kembali catatan kronolgis
sejarah tentang terbentuknya kesultanan Moloku Kie Raha di Jazirah Al
Mamlakatul Mulukiyah. Kedua, berupaya
untuk memahami falsafah adat Ternate agar dapat ditemukan sumber budaya yang
kemudian mengatur tata laku dan pola hidup masyarakat di bumi Nita Malili ini.
•
Sekilas Tentang Sejarah Kesultanan Moloku Kie
Raha
Ada satu versi sejarah yang mengatakan bahwa nama Maloko
Kie Raha pertama kali dilansir pada ketika dilaksanakannya Konfederasi Moti (Moti Verbond) pada tahun 1322 di Moti.
Secara etimologis dan morfologis, Maloko Kie Raha terbentuk dari kata “Ma” yang artinya penunjang, “Loko” diartikan sebagai tempat, “Kie” yang memiliki arti gunung, dan “Raha”
mengandung pengertian empat. Berdasarkan pengertian etimologis tersebut,
maka Maloko Kie Raha dapat diartikan sebagai tempat berdirinya empat gunung
yang merupakan kawasan kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan sebagai
kawasan kesatuan cultural yang mendukung suatu kesadaran berperadaban dengan
mengandalkan Sultan sebagai model kepemimpinan (pemerintahan, red) monarki.
Dalam konfederasi Moti itu dibuatlah sebuah kesepakatan
kultural yang bersifat sinergis seperti tertuang dalam idiom : “Jo Ou ngon kadada madopo, fangare ngom
kaalam madiki. Kesepakatan cultural ini menunjukkan ada niat baik para
peserta konfederasi untuk bersinergi, membangun sebuah kesadaran cultural
mengenai kepemimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur kerakyatan atau
kepemimpinan yang membawa sifat kerakyatan yang dinyatakan dengan Jo Ou (Sultan) sebagai dada madopo (puncak nasi tumpeng) dan fangare ngom sebagai kolektivitas rakyat
yang menjadi pendukung kepemimpinan bagai alam
madiki (tiangnya alam).
Berdasarkan catatan kronologi sejarah yang diilustrasikan
di atas, terlihat jelas bahwa kebudayaan Ternate sangat mendominasi
perkembangan budaya Maloko Kie Raha pada saat itu. Hal ini menurut penulis,
sangat logis karena seirama dengan perkembangan kebudayaan pada saat itu, bahasa
Ternate dan Melayu menjadi Lingua Franca di Maluku Utara, maka sastera lisan
Ternate pun kemudian menjadi milik masyarakat setempat, sehingga tidaklah
mengherankan apabila sastera lisan ini juga mendapat pengaruh dari
bahasa-bahasa lokal serta bahasa Melayu, Arab, Jawa, dan lain-lain.
Hal ini didasari pemikiran bahwa bahasa mengungkapkan
budaya dan budaya mendorong bahasa berkembang. Bahasa sangat mengacu pada
realitas budaya melalui pengungkapan nilai, gagasan, sikap, perspektif dan
pandangan dunia. Sehingga segala macam bentuk tindak tanduk suatu kebudayaan
dapat direkam ke dalam sistem kebahasaan. Oleh sebab itu, berdasarkan kronologi
sejarah pada uraian di atas, sekiranya tepat kalau dikatakan bahwa kebudayaan
Maloko Kie Raha bertumpu pada kebudayaan Ternate. Dengan kata lain, Ternate
merupakan pusat kebudayaan Maloko Kie Raha pada zaman itu.
•
Memahami Falsafah Adat Ternate
Upaya memahami dari sudut pandang filosofis sebagai
pengantar pemahaman kearah filsafat adat Ternate akan dapat ditempuh melalui upaya
menelusuri makna yang terkandung dalam simbol Goheba Dopolo Romdidi yang
merupakan lambang kesultanan Ternate. Selanjutnya, upaya ini akan dapat
memberikan titik terang bagi kita dalam merumuskan jawaban atas pertanyaan dari
mana sumber kebudayaan Maloko Kie Raha itu berasal.
Simbol ini berbentuk burung mitologik, yaitu seekor
burung berkepala dua dan berhati satu, dinamakan "GOHEBA". Lambang
Kie Raha ini merupakan objektivasi dari filsafat Jou Se Ngofa Ngare. Yang bisa diterjemahkan sebagai AKU dan ENGKAU.
Karena adanya Ua Hang Moju, yang juga dinamakan alam La atau alam ketiadaan
maka dapat kita katakan bahwa aku dan Engkau berada dalam satu tempat.
Jou Se Ngofa
Ngare sebagai pandangan hidup komunitas Kesultanan Ternate mengandung
nilai-nilai adiluhung yang meliputi aspek mistik, kosmologi maupun yang
bertalian dengan struktur sosial. Dalam sejarah pemikiran Moloku Kie Raha,
falsafah Jou se Ngofangare mengalami proses materialisasi sehingga menjadi
budaya. Oleh karena budaya adalah konkretisasi alam pikiran manusia, maka
falsafah Jou se Ngofa Ngare di konkritkan dalam ruang dan waktu objektif
universal berbentuk GOHEBA DOPOLO ROMDIDI, yaitu burung berkepala dua berbadan
satu dan berhati satu. Disinilah dimulai pengetahuan sensibel(Sensitive Knowledge) atau Pengetahuan
Indrawi. Lambang Goheba berkepala dua melambangkan JOU SE NGOFANGARE.
Seperti
diketahui bahwa simbol menyimpulkan sejarah manusia yang sangat panjang. Dia
merupakan himpunan alam pikiran dan gerak manusia. Jadi kita dapat katakan
bahwa simbol adalah pusat pengalaman manusia atau pusat nilai. Bertolak dari
alam pikiran JOU SE NGOFANGARE (Aku dan Engkau) terlihat bahwa manusia Kie-Raha
(Ternate) sudah memikirkan hubungan Aku dan Tuhan. Pemikiran ini tertuang dalam
parabel-parabel yang dinamakan Dolo-Bololo, yang terdiri dari Dalil Tifa, Dalil
Moro dan Tamsil. Dan ketiga parabel tersebut selalu mengungkapkan tiga masalah
mendasar yakni Tuhan, Manusia dan Alam.
Seperti yang
sering ditemukan dalam berbagai literatur, bahwa filsafat selalu dimulai dengan
bertanya. Bertanya tentang apa yang dilihat, dirasa, dicium, dan dipikirkan.
Demikianlah manusia di manapun dia berada selalu bertanya tentang semua
fenomena.
Di
wilayah KIE RAHA terdapat pula pertanyaan yang bermacam-macam. Yang sengaja
saya angkat disini adalah sebuah pertanyaan yang sangat mendasar karena
menyangkut asal usul kejadian.
Pertanyaannya
: TOMA UA HANG MOJU, TOMA LIMAU GAPI MA TUBU, KOGA IDADI SOSIRA?
Perlu
dijelaskan terlebih dahulu arti kata demi kata dari pertanyaan tersebut diatas.
TOMA
: secara implisit mengandung arti "keterarahan"
UA
: Tidak
HANG
: belum
MOJU
: lagi yang mengarah pada "materi"
Maka menurut
hukum logika kita dapat artikan pertanyaan "Toma ua hang moju" sbb :
Yakni
bahwa "Toma ua hang moju" mengarah kepada waktu yang spatial dan
ruang yang temporal dalam arti bahwa waktu yang spatial dan ruang yang temporal
berada diluar kosmos (universe) karena adanya :ua hang moju. Jika kita
hubungkan dengan firman Tuhan dalam AlQuran Surat Al Insan Ayat 1-2, yang
berbunyi : "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut".
Akal kita
dapat menerima bahwa toma ua hang moju
disini adalah "satu waktu dari masa". Maka secara kosmogonis
pertanyaan kita menjadi "Pada suatu tempat yang berada diluar ruang dan
waktu objektif, apa yang terlebih dahulu eksis". Sehingga pertanyaan ini
pada dirinya menerangkan bahwa ada sesuatu diluar ruang dan waktu objektif.
Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang berusaha menetapkan titik tolak
pemikiran tentang asal usul penciptaan alam ini. Jawabannya berbunyi :
"TOMA UA HANG MOJU TOMA LIMAU GAPI MA TUBU - JOU SE NGOFANGARE".
Artinya : "Pada satu waktu dari
masa, pada suatu tempat yang tertinggi, ada Aku dan Engkau".
Jawaban ini
dapat dianalogikan dengan Firman Tuhan Surat Maryam Ayat 9 : “Aku menciptakanmu
sebelum ini, tapi kau belum apa-apa”.Ini adalah konkretisasi secara abstrak
dari intuisi murni. Dengan demikian maka intuisi murni merupakan kondisi yang
apriori dan membentuk pengetahuan kita secara abstrak. Pengetahuan ini kita
namakan pengetahuan intelektual atau
intelectual knowledge karena mampu mengetahui realitas yang supersensible.
Secara
ontologis (ilmu tentang ADA sepanjang itu ada), maka JOU SE NGAFANGARE
merupakan AL-AWWAL dalam arti awwal itu adalah "asal" segala sesuatu.
Jika sesuatu itu diadakan oleh AL-AWWAL maka tidak bisa tidak seluruh alam
pasti berasal dari AL-AWWAL yaitu JOU SE NGOFANGARE. Dalam stadium ini sudah
terjadi dialog awal antara Engkau dan Aku.
Sehingga
terjadilah Ma'rifat. Peristiwa ini dilukiskan dalam bahasa Ternate dengan
bentuk puitis yang mengandung pengertian religi dan filosofis, dikenal dengan
nama DOLO BOLOLO.
"GUDU
MOJU SI TO SUBA RI JOU SI TO NONAKO" artinya Aku menyembahnya karena aku
sudah mengenalnya. Pepatah Arab mengatakan : “Man ‘arafa Nafsuhu faqad ‘arafa
Rabbahu”. Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhan-Nya.
Ini
berkaitan erat dengan firman yang mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan jin dan
manusia hanya untuk menyembahNya. Dalam Al Qur’an Allah SWT Berfirman : wamaa
khalaqtul Jinna wal Insa Illa Liya’buduun. Dan tidaklah kami menciptakan Jin
dan Manusia, melainkan untuk beribadah kepadaku. Kemudian Islam masuk ke
Ternate (baca KIE RAHA), dan mengajarkan asas Islam ialah dua kalimat Syahadat
dalam bahasa Arab : "Asyahadu alla ilaha ilallah wa aasyahadu anna
Muhammdar Rasulullah". Ternyata sesuai dengan asas Jou Se Ngofangare.
Dengan
demikian, maka dapat ditarik benang merah bahwa upaya merenungkan hasil
jangkauan akal manusia akan hakikat keberadaannya di muka bumi ini yang
mencakup hubungannya dengan Allah selaku Khalik yang menciptakan, hubungannya
dengan manusia yang lain serta hubungannya dengan alam dalam menemukan tata
cara atau pedoman melaksanakan interaksi dengan dunia luar dirinya bermuara
pada falsafah Jou Se Ngofa Ngare sebagai suatu system nilai yang perlu
diwujudkan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, sumber kebudayaan Moloku Kie
Raha berasal dari falsafah hidup Jou Se Ngofa Ngare.
Jika kita
setuju dengan defenisi kebudayaan yang diuraikan di atas, yakni sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi
landasan bagi tingkah-lakunya, maka jelaslah bahwa upaya manusia Maloko Kie
Raha dalam mencari tahu hakikat keberadaannya di dunia ini manghasilkan
perangkat pengetahuan tentang adanya hubungan Hablum Minallah yang diabstraksikan ke dalam falsafah Jou Se
Ngofangare yang dijadikan sebagai landasan bertingkah laku dalam tata
kehidupannya.
Merujuk pada
defenisi tersebut, maka jelas pula seperangkat pengetahuan yang berpijak pada
falsafah Jou Se Ngofangare menghasilkan tiga wujud kebudayaan Maloko Kie Raha,
yakni gagasan, aktivitas, dan artefak. Diantara ketiga wujud kebudayaan
tersebut, gagasan sebagai wujud ideal yang mengatur dan memberikan arah kepada
aktivitas manusia sebagai tindakan berpola dalam interaksi manusia yang
membentuk adat serta artefak dalam bentuk hasil karya ciptaan tangan manusia.
Dari sini, maka terdapat hubungan antara falsafah Jou Se Ngofangare yang
mengatur memberikan arah terhadap adat istiadat Maloko Kie Raha serta
diwujudkan dalam bentuk hasil karya manusia berupa segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh indera manusia, seperti lukisan, bangunan, kerajinan tangan dan
lain sebagainya.
Falsafah Jou Se Ngofangare ini mengatur dan memberikan arah terhadap
tata kehidupan dengan aturan lisan yang mengikat komunitas orang Ternate dalam
konteks “Masyarakat Adat” dengan bersumber dari Enam Sila Dasar Falsafah Adat
yang berlaku. Falsafah adat ini merupakan warisan nenek moyang. Enam Sila Dasar
Falsafah Adat Ternate ini merupakan implementasi dari akar budaya asli orang
Ternate itu sendiri, yaitu; “Adat ma toto agama, Agama ma toto toma Jou
Rasulullah, Jou Rasulullah manyeku Diki Amoi nga hidayah se kodrati”.
(Adat bersumber dari agama, agama bersumber dari ajaran Rasullulah, dia atas
Rasulullah hanya hidayah dan kehendakNYA atas segalanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar