Halaman

Minggu, 21 April 2013

kebudayaan


C. Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli atropologi Cateora, yaitu :
      Kebudayaan Material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
      Kebudayaan Nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

      Lembaga Sosial
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memiliki karier.
      Sistem Kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
      Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangun bagunan jenis apa saja harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
      Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.

D. Kebudayaan Moloku Kie Raha
Pembahasan mengenai kebudayaan Moloku Kie Raha merupakan pembahasan yang begitu menarik. Menarik, karena dapat memancing sejumlah pertanyaan kritis yang dimaksudkan untuk mengenal kandungan nilai kebudayaan Moloku Kie Raha. Pertanyaan kritis yang dimaksud  ialah tentang dari mana sumber kebudayaan Moloku Kie Raha itu tercipta? apa itu kebudayaan Moloku Kie Raha? Bagaimana wujud dan komponen budaya yang termasuk di dalamnya segala daya cipta, system nilai, keyakinan, dan pandangan dunia manusia Moloku Kie Raha? Pertanyaan berikutnya adalah mengapa terbentuk sebuah kebudayaan Moloku Kie Raha? dan mengapa kebudayaan Moloku Kie Raha itu perlu dipelajari.
Proses untuk mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas, sebagai suatu upaya untuk memahami kandungan kebudayaan Moloku Kie Raha, menurut hemat penulis dapat dimulai dengan melakukan 2 hal penting, pertama, menelaah kembali catatan kronolgis sejarah tentang terbentuknya kesultanan Moloku Kie Raha di Jazirah Al Mamlakatul Mulukiyah. Kedua, berupaya untuk memahami falsafah adat Ternate agar dapat ditemukan sumber budaya yang kemudian mengatur tata laku dan pola hidup masyarakat di bumi Nita Malili ini.
      Sekilas Tentang Sejarah Kesultanan Moloku Kie Raha
Ada satu versi sejarah yang mengatakan bahwa nama Maloko Kie Raha pertama kali dilansir pada ketika dilaksanakannya Konfederasi Moti (Moti Verbond) pada tahun 1322 di Moti. Secara etimologis dan morfologis, Maloko Kie Raha terbentuk dari kata “Ma” yang artinya penunjang, “Loko”  diartikan sebagai tempat, “Kie”  yang memiliki arti gunung, dan “Raha”  mengandung pengertian empat. Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka Maloko Kie Raha dapat diartikan sebagai tempat berdirinya empat gunung yang merupakan kawasan kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan sebagai kawasan kesatuan cultural yang mendukung suatu kesadaran berperadaban dengan mengandalkan Sultan sebagai model kepemimpinan (pemerintahan, red) monarki.
Dalam konfederasi Moti itu dibuatlah sebuah kesepakatan kultural yang bersifat sinergis seperti tertuang dalam idiom : “Jo Ou ngon kadada madopo, fangare ngom kaalam madiki. Kesepakatan cultural ini menunjukkan ada niat baik para peserta konfederasi untuk bersinergi, membangun sebuah kesadaran cultural mengenai kepemimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur kerakyatan atau kepemimpinan yang membawa sifat kerakyatan yang dinyatakan dengan Jo Ou (Sultan) sebagai dada madopo (puncak nasi tumpeng) dan fangare ngom sebagai kolektivitas rakyat yang menjadi pendukung kepemimpinan bagai alam madiki (tiangnya alam).
Berdasarkan catatan kronologi sejarah yang diilustrasikan di atas, terlihat jelas bahwa kebudayaan Ternate sangat mendominasi perkembangan budaya Maloko Kie Raha pada saat itu. Hal ini menurut penulis, sangat logis karena seirama dengan perkembangan kebudayaan pada saat itu, bahasa Ternate dan Melayu menjadi Lingua Franca di Maluku Utara, maka sastera lisan Ternate pun kemudian menjadi milik masyarakat setempat, sehingga tidaklah mengherankan apabila sastera lisan ini juga mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lokal serta bahasa Melayu, Arab, Jawa, dan lain-lain.
Hal ini didasari pemikiran bahwa bahasa mengungkapkan budaya dan budaya mendorong bahasa berkembang. Bahasa sangat mengacu pada realitas budaya melalui pengungkapan nilai, gagasan, sikap, perspektif dan pandangan dunia. Sehingga segala macam bentuk tindak tanduk suatu kebudayaan dapat direkam ke dalam sistem kebahasaan. Oleh sebab itu, berdasarkan kronologi sejarah pada uraian di atas, sekiranya tepat kalau dikatakan bahwa kebudayaan Maloko Kie Raha bertumpu pada kebudayaan Ternate. Dengan kata lain, Ternate merupakan pusat kebudayaan Maloko Kie Raha pada zaman itu.

      Memahami Falsafah Adat Ternate
Upaya memahami dari sudut pandang filosofis sebagai pengantar pemahaman kearah filsafat adat Ternate akan dapat ditempuh melalui upaya menelusuri makna yang terkandung dalam simbol Goheba Dopolo Romdidi yang merupakan lambang kesultanan Ternate. Selanjutnya, upaya ini akan dapat memberikan titik terang bagi kita dalam merumuskan jawaban atas pertanyaan dari mana sumber kebudayaan Maloko Kie Raha itu berasal.
Simbol ini berbentuk burung mitologik, yaitu seekor burung berkepala dua dan berhati satu, dinamakan "GOHEBA". Lambang Kie Raha ini merupakan objektivasi dari filsafat Jou Se Ngofa Ngare. Yang bisa diterjemahkan sebagai AKU dan ENGKAU. Karena adanya Ua Hang Moju, yang juga dinamakan alam La atau alam ketiadaan maka dapat kita katakan bahwa aku dan Engkau berada dalam satu tempat.
Jou Se Ngofa Ngare sebagai pandangan hidup komunitas Kesultanan Ternate mengandung nilai-nilai adiluhung yang meliputi aspek mistik, kosmologi maupun yang bertalian dengan struktur sosial. Dalam sejarah pemikiran Moloku Kie Raha, falsafah Jou se Ngofangare mengalami proses materialisasi sehingga menjadi budaya. Oleh karena budaya adalah konkretisasi alam pikiran manusia, maka falsafah Jou se Ngofa Ngare di konkritkan dalam ruang dan waktu objektif universal berbentuk GOHEBA DOPOLO ROMDIDI, yaitu burung berkepala dua berbadan satu dan berhati satu. Disinilah dimulai pengetahuan sensibel(Sensitive Knowledge) atau Pengetahuan Indrawi. Lambang Goheba berkepala dua melambangkan JOU SE NGOFANGARE.
Seperti diketahui bahwa simbol menyimpulkan sejarah manusia yang sangat panjang. Dia merupakan himpunan alam pikiran dan gerak manusia. Jadi kita dapat katakan bahwa simbol adalah pusat pengalaman manusia atau pusat nilai. Bertolak dari alam pikiran JOU SE NGOFANGARE (Aku dan Engkau) terlihat bahwa manusia Kie-Raha (Ternate) sudah memikirkan hubungan Aku dan Tuhan. Pemikiran ini tertuang dalam parabel-parabel yang dinamakan Dolo-Bololo, yang terdiri dari Dalil Tifa, Dalil Moro dan Tamsil. Dan ketiga parabel tersebut selalu mengungkapkan tiga masalah mendasar yakni Tuhan, Manusia dan Alam.
Seperti yang sering ditemukan dalam berbagai literatur, bahwa filsafat selalu dimulai dengan bertanya. Bertanya tentang apa yang dilihat, dirasa, dicium, dan dipikirkan. Demikianlah manusia di manapun dia berada selalu bertanya tentang semua fenomena.
 Di wilayah KIE RAHA terdapat pula pertanyaan yang bermacam-macam. Yang sengaja saya angkat disini adalah sebuah pertanyaan yang sangat mendasar karena menyangkut asal usul kejadian.
 Pertanyaannya : TOMA UA HANG MOJU,  TOMA LIMAU GAPI MA TUBU, KOGA IDADI SOSIRA?
Perlu dijelaskan terlebih dahulu arti kata demi kata dari pertanyaan tersebut diatas.
 TOMA    : secara implisit mengandung arti "keterarahan"
 UA         : Tidak
 HANG    : belum
 MOJU    : lagi yang mengarah pada "materi"
Maka menurut hukum logika kita dapat artikan pertanyaan "Toma ua hang moju" sbb :
 Yakni bahwa "Toma ua hang moju" mengarah kepada waktu yang spatial dan ruang yang temporal dalam arti bahwa waktu yang spatial dan ruang yang temporal berada diluar kosmos (universe) karena adanya :ua hang moju. Jika kita hubungkan dengan firman Tuhan dalam AlQuran Surat Al Insan Ayat 1-2, yang berbunyi : "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut".
Akal kita dapat menerima bahwa toma ua hang moju disini adalah "satu waktu dari masa". Maka secara kosmogonis pertanyaan kita menjadi "Pada suatu tempat yang berada diluar ruang dan waktu objektif, apa yang terlebih dahulu eksis". Sehingga pertanyaan ini pada dirinya menerangkan bahwa ada sesuatu diluar ruang dan waktu objektif. Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang berusaha menetapkan titik tolak pemikiran tentang asal usul penciptaan alam ini. Jawabannya berbunyi : "TOMA UA HANG MOJU TOMA LIMAU GAPI MA TUBU - JOU SE NGOFANGARE".
 Artinya : "Pada satu waktu dari masa, pada suatu tempat yang tertinggi, ada Aku dan Engkau".
Jawaban ini dapat dianalogikan dengan Firman Tuhan Surat Maryam Ayat 9 : “Aku menciptakanmu sebelum ini, tapi kau belum apa-apa”.Ini adalah konkretisasi secara abstrak dari intuisi murni. Dengan demikian maka intuisi murni merupakan kondisi yang apriori dan membentuk pengetahuan kita secara abstrak. Pengetahuan ini kita namakan pengetahuan intelektual atau intelectual knowledge karena mampu mengetahui realitas yang supersensible.
  Secara ontologis (ilmu tentang ADA sepanjang itu ada), maka JOU SE NGAFANGARE merupakan AL-AWWAL dalam arti awwal itu adalah "asal" segala sesuatu. Jika sesuatu itu diadakan oleh AL-AWWAL maka tidak bisa tidak seluruh alam pasti berasal dari AL-AWWAL yaitu JOU SE NGOFANGARE. Dalam stadium ini sudah terjadi dialog awal antara Engkau dan Aku.
Sehingga terjadilah Ma'rifat. Peristiwa ini dilukiskan dalam bahasa Ternate dengan bentuk puitis yang mengandung pengertian religi dan filosofis, dikenal dengan nama DOLO BOLOLO.
 "GUDU MOJU SI TO SUBA RI JOU SI TO NONAKO" artinya Aku menyembahnya karena aku sudah mengenalnya. Pepatah Arab mengatakan : “Man ‘arafa Nafsuhu faqad ‘arafa Rabbahu”. Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhan-Nya.
 Ini berkaitan erat dengan firman yang mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembahNya. Dalam Al Qur’an Allah SWT Berfirman : wamaa khalaqtul Jinna wal Insa Illa Liya’buduun. Dan tidaklah kami menciptakan Jin dan Manusia, melainkan untuk beribadah kepadaku. Kemudian Islam masuk ke Ternate (baca KIE RAHA), dan mengajarkan asas Islam ialah dua kalimat Syahadat dalam bahasa Arab : "Asyahadu alla ilaha ilallah wa aasyahadu anna Muhammdar Rasulullah". Ternyata sesuai dengan asas Jou Se Ngofangare.
 Dengan demikian, maka dapat ditarik benang merah bahwa upaya merenungkan hasil jangkauan akal manusia akan hakikat keberadaannya di muka bumi ini yang mencakup hubungannya dengan Allah selaku Khalik yang menciptakan, hubungannya dengan manusia yang lain serta hubungannya dengan alam dalam menemukan tata cara atau pedoman melaksanakan interaksi dengan dunia luar dirinya bermuara pada falsafah Jou Se Ngofa Ngare sebagai suatu system nilai yang perlu diwujudkan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, sumber kebudayaan Moloku Kie Raha berasal dari falsafah hidup Jou Se Ngofa Ngare.
Jika kita setuju dengan defenisi kebudayaan yang diuraikan di atas, yakni sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya, maka jelaslah bahwa upaya manusia Maloko Kie Raha dalam mencari tahu hakikat keberadaannya di dunia ini manghasilkan perangkat pengetahuan tentang adanya hubungan Hablum Minallah yang diabstraksikan ke dalam falsafah Jou Se Ngofangare yang dijadikan sebagai landasan bertingkah laku dalam tata kehidupannya.
Merujuk pada defenisi tersebut, maka jelas pula seperangkat pengetahuan yang berpijak pada falsafah Jou Se Ngofangare menghasilkan tiga wujud kebudayaan Maloko Kie Raha, yakni gagasan, aktivitas, dan artefak. Diantara ketiga wujud kebudayaan tersebut, gagasan sebagai wujud ideal yang mengatur dan memberikan arah kepada aktivitas manusia sebagai tindakan berpola dalam interaksi manusia yang membentuk adat serta artefak dalam bentuk hasil karya ciptaan tangan manusia. Dari sini, maka terdapat hubungan antara falsafah Jou Se Ngofangare yang mengatur memberikan arah terhadap adat istiadat Maloko Kie Raha serta diwujudkan dalam bentuk hasil karya manusia berupa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera manusia, seperti lukisan, bangunan, kerajinan tangan dan lain sebagainya.
Falsafah Jou Se Ngofangare ini mengatur dan memberikan arah terhadap tata kehidupan dengan aturan lisan yang mengikat komunitas orang Ternate dalam konteks “Masyarakat Adat” dengan bersumber dari Enam Sila Dasar Falsafah Adat yang berlaku. Falsafah adat ini merupakan warisan nenek moyang. Enam Sila Dasar Falsafah Adat Ternate ini merupakan implementasi dari akar budaya asli orang Ternate itu sendiri, yaitu; “Adat ma toto agama, Agama ma toto toma Jou Rasulullah, Jou Rasulullah manyeku Diki Amoi nga hidayah se kodrati”. (Adat bersumber dari agama, agama bersumber dari ajaran Rasullulah, dia atas Rasulullah hanya hidayah dan kehendakNYA atas segalanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar